Seperti Renovasi Rumah, Rocky: Percuma Amendemen UUD Jika Bikin Gerah

Indonesiaplus.id – Analogi rencana amendemen UUD 1945 seperti mau merenovasi rumah yang membuat pemilik rumah tidak nyaman. Sehingga percuma dilakukan jika malah membuat rakyat kegerahan.
Hal ini disampaikan pengamat politik Rocky Gerung dalam diskusi publik bertajuk ‘Presiden Perseorangan, Presidential Threshold, dan Penataan Kewenangan DPD”, Jumat (10/9/2021).
Juga, hadir dalam diskusi yang digelar oleh Kelompok DPD di MPR tersebut, antara lain ekonom senior Rizal Ramli, Senator DPD RI Tamsil Linrung, pakar hukum Refly Harun, aktivis HAM Natalius Pigai, serta Gregerius Seto Hartanto.
Pernyataan rakyat kegerahan ini, kata Rocky, merujuk pada suara penolakan yang mencuat atas isu yang bergulir dari Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tersebut. “Jadi, percuma ada amandemen jika malah membuat rakyat kegerahan,” ujar Rocky.
Semestinya, amendemen UUD diarahkan untuk perombakan total kehidupan kebangsaan. Tidak parsial pada rencana Pokok Pokok Haluan Negara (PPHN) semata. “Terlebih dikaitkan isu penambahan periode kepemimpinan dan masa jabatan Presiden yang diinginkan segelintir elit,” tandasnya.
Berbagai masalah kebangsaan justru dipendam. Bahkan, kejahatan dikunci rapat seperti kisah klasik kotak pandora. Ia mencontohkan posisi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) saat ini justru tidak diberi peran.
“Padahal DPD ini suara paling murni dari rakyat. Dia tidak diedit. Tidak diiintervensi dan diatur-atur (oleh parpol). Semestinya, DPD yang mengatur MPR,” tandas Rocky.
Ketua Kelompok DPD di MPR, Tamsil Linrung, mengatakan, bahwa masyarakat justru mempertanyakan jika isu amendemen bergulir dikaitkan dengan penambahan periode ketiga jabatan presiden, atau perpanjangan masa jabatan presiden merujuk pada isu penundaan pemilu.
Bagi mantan politikus PKS ini merasa agak aneh jika ada niat perpanjangan jabatan presiden. Sementara tidak ada indikator keberhasilan pemerintah yang diapresiasi rakyat, meski telah diberi waktu lebih dari satu periode.
Merespons upaya DPD mendorong kontestasi elektoral yang lebih kompetitif, pakar hukum Refly Harun menilai salah satu alasan mendasar pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat adalah menghilangkan trauma pada masa Orde Baru. Saat itu jumlah calon dibatasi sedemikian rupa. “Capres hanya itu-itu saja,” kata Refly.
Dengan membuka kran seluas-luasnya, maka publik dapat menjaring putra terbaik bangsa. Refly mengapresiasi upaya mendorong presidential threshold nol persen, atau diturunkan dari ambang batas 20 persen yang berlaku saat ini.
Aktivis dan mantan komisioner Komnas HAM, Natalius Pigai berpendapat, jika sistem pemilu saat ini belum merefleksikan keseriusan negara dalam menegakkan hak asasi manusia. Hal itu lantaran sistem perwakilan yang diterapkan tidak representatif, sehingga sebagian besar masyarakat tidak terwakili aspirasinya dalam kebijakan-kebijakan politik.
Sementara itu, anggota Komisi Kajian Ketatanegaraan (K3) MPR, Gregerius Seto Hartanto menyoroti amendemen UUD 1945 sebagai keputusan hukum, namun harus ditempuh dengan konsensus politik. DPD sebagai unsur politik elementer di MPR, dapat berperan strategis dalam isu amendemen tersebut.[had]