POLITICS

Pejabat Kaya Bukan Jaminan Tak Korupsi, KPK: Tidak Ada Korelasi

Indonesiaplus.id – Tingkat kekayaan pejabat atau penyelenggara negara tidak mempunyai korelasi dengan tindak pidana korupsi. Sehingga, pejabat kaya tidak ada jaminan tidak melakukan korupsi.

Kajian KPK dari pimpinan-pimpinan lembaga atau daerah melihat back ground atau LHKPN pejabat, ternyata secara statistik tidak ada hubungan antara kekayaan dengan tersangkut kasus korupsi atau tidak.

“Jadi, sama sekali tidak ada hubungan dan itu artinya saat dulu miskin bisa juga korupsi dan dulu kaya bisa juga korupsi,” ungkap Deputi Pencegahan KPK, Pahala Nainggolan di Jakarta, Jumat (11/12/2020).

Pada sejumlah perkara yang ditangani KPK, penyelenggara negara yang dijerat memiliki harta lebih dari Rp10 miliar. Sebut saja Menteri Sosial Juliari P. Batubara yang ditetapkan KPK sebagai tersangka kasus dugaan suap pengadaan bantuan sosial di wilayah Jabodetabek untuk penanganan COVID-19.

“Dia (Juliari-red) bersama dua anak buahnya diduga menerima Rp17 miliar dari rekanan Kementerian Sosial, ” tandas Pahala.

Terakhir LHKPN disetorkan ke KPK, Juliari mengaku memiliki harta Rp 47 miliar. Selain Juliari terdapat nama mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi yang dijerat atas kasus suap dan gratifikasi.
“Imam mengaku memiliki harta Rp 22 miliar. Bahkan, mantan Bupati Kutai Kartanegara, Rita Widyasari yang divonis bersalah atas perkara suap dan gratifikasi memiliki harta Rp 236,7 miliar dan US$138,4 ribu, ” katanya.

Namun, hal yang menjadi faktor pejabat terlibat korupsi adalah sistem yang ada di lingkungannya. Seorang yang memiliki harta banyak tetap berpotensi melakukan korupsi ketika menjadi pejabat.

“Kalau kita pikir sudah kaya ya sudah dong, ternyata tidak ada hubungannya karena kita lihat sistem yang membelit membuat orang jadi tidak peduli kaya atau miskin selama lima tahun, katakanlah kalau kepala daerah atau selama menjabat dia terpaksa jatuh ke sistem,” tandasnya.

Misalnya, Kepala daerah yang korupsi bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk mengembalikan modal dari sponsor yang mendanainya saat maju kontestasi serta membagikan kepada masyarakat yang menganggapnya memiliki uang banyak.

Juga, dengan pejabat lembaga atau kementerian yang tak tertutup kemungkinan melakukan korupsi untuk anak buahnya. Padahal coba berapa sih gaji menteri? Cuma Rp 19 juta plus dana operasional menteri Rp 20 juta per bulan.

“80 persen harus dipertanggungjawabkan dan melihat ekspektasi orang, kalau ada menteri rasanya cukup semuanya, tapi tidak juga. Kita pikir jadi tidak relevan kaya atau miskin, sistemnya yang membelit orang jadi korupsi,” terang Pahala.

Sistem yang begitu hanya orang-orang berintegritas dan iman yang kuat yang tidak tergoda melakukan korupsi. Bagi orang-orang itu juga harus siap tidak populer.

“Perlu integritas dan iman yang kuat yang tidak terjerat korupsi, atau siap tidak populer untuk tidak coba-coba korupsi,” pungkas Pahala.[mus]

Related Articles

Back to top button