Mendagri Sebut Ancaman El Nino Mengerikan, 6 Warga Papua Tewas

Indonesiaplus.id – Terdapat enam orang warga meninggal dunia akibat bencana kekeringan el nino yang melanda Distrik Lambewi dan Distrik Agandume, Kabupaten Puncak, Papua Tengah.
Hal itu disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian dua pekan lalu saat bersama Presiden Joko Widodo melakukan rapat terbatas (ratas) bersama membahas antisipasi dan kesiapan dalam menghadapi ancaman fenomena iklim El Nino di Istana Merdeka Jakarta, Selasa, (18/7/2023).
“Dua pekan lalu ada rapat terbatas dengan Bapak Presiden masalah dampak el nino, khususnya terhadap ketahanan pangan. Saya mendapat arahan langsung dari Presiden,” ujarnya.
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati memprediksi ancaman El Nino mengalami puncak pada Agustus-September. Puncak El Nino dikhawatirkan berdampak pada ketersediaan air atau kekeringan, juga produktivitas pangan.
Menghadapi fenomena El Nino tersebut, pemerintah telah berkoordinasi dan melakukan sejumlah langkah antisipasi sejak bulan Februari-April dan akan terus diperkuat.
Meskipun saat ini Indonesia sudah masuk musim kemarau, tetapi potensi terjadinya bencana hidrometeorologi atau banjir itu masih tetap ada.
“Wilayah Indonesia dipengaruhi dua samudera dan topografinya yang bergunung-gunung di khatulistiwa, masih tetap ada kemungkinan satu wilayah mengalami kekeringan, tetangganya mengalami banjir atau bencana hidrometeorologi,” jelas Dwikorita.
El Nino merupakan fenomena pemanasan suhu muka laut (SML) di atas kondisi normalnya yang terjadi di Samudera Pasifik bagian tengah.
Pemanasan SML meningkatkan potensi pertumbuhan awan di Samudera Pasifik tengah dan mengurangi curah hujan di wilayah Indonesia. Intinya, El Nino memicu terjadinya kondisi kekeringan untuk wilayah Indonesia secara umum.
Dunia dihantui perubahan iklim. Dampak dari fenomena alam ini tidak main-main seperti hasil panen yang tidak menentu karena gangguan cuaca El Nino dan La Nina hingga tenggelamnya beberapa daerah di pesisir.
Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Filianingsih Hendarta mengatakan, dampak perubahan iklim ke ekonomi sangat besar. berdasarkan hitungannya, nilai kerugian ekonomi yang ditanggung Indonesia akibat perubahan iklim mencapai Rp 112 triliun hanya untuk tahun ini saja. Nilai kerugian ini setara 0,5 persen dari PDB.
“(Nilai kerugian) ini lebih tinggi daripada potensi 2022 dan 2021 di mana masing-masing sebesar Rp 109 triliun dan Rp 106 triliun,” ujar Filianingsih dalam acara UMKM Go Green di Jakarta Convention Center (JCC), Senayan, Jakarta Pusat, Sabtu (29/7/2023).
Contoh nyata akibat dari perubahan iklim yang terjadi di Indonesia. Yakni, meningkatnya permukaan air laut sekitar 0,8 sampai 1,2 cm per tahun yang mengancam kelangsungan hidup masyarakat pesisir. “Sekitar 64 persen penduduk (Indonesia) tinggal di wilayah pesisir,” tegasnya.
Perubahan iklim mengakibatkan pada tren kenaikan suhu di Indonesia. BMKG mencatat, rata-rata kenaikan suhu mencapai 0,03 derajat celcius per tahun dalam kurun waktu 1981-2018.
“Dalam laporannya, lembaga riset Swiss pada 2021 memperkirakan kerugian yang disebabkan oleh cuaca ekstrim dapat mencapai 10 persen dari PDB global di tahun 2050,” katanya.
Pihaknya mengajak pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) untuk melakukan transformasi bisnis yang lebih ramah lingkungan. Menurutnya, UMKM memiliki kontribusi penting dalam mengatasi perubahan iklim. “UMKM memiliki kontribusi penting dalam bersama-sama mengatasi isu perubahan iklim,” ucapnya.
BI menyiapkan program model bisnis UMKM hijau, seperti meningkatkan penerapan praktek ramah lingkungan dan zero waste, meningkatkan penerapan ekonomi sirkular, meningkatkan akses pembiayaan, hingga mewujudkan ekonomi yang lebih efisien.
Presiden-Tertunjuk COP28 Dr. Sultan Al-Jaber dan Sekretaris Eksekutif dari United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) Simon Stiell, mendesak negara anggota G20 untuk mengambil langkah tegas terkait mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Dari 125 hari tersisa, para pemimpin ini telah menyetujui sebuah pernyataan bersama di sela-sela pertemuan tingkat Menteri G20 di Chennai.
Sedangkan, para ilmuwan menuntut adanya hasil mitigasi yang kuat pada COP28 yang mampu mendorong pengurangan emisi karbon yang signifikan dan menunjukkan peningkatan dari COP yang sebelumnya.
“Kami meminta negara G20 untuk memimpin berdasarkan basis keilmuan dan kesetaraan agar dapat membuka jalan untuk hasil yang kuat dan kredibel sehingga memberikan dasar bagi negara-negara berkembang dalam melakukan transisi,” kata para pemimpin dalam pernyataan tersebut.
Perlu bersama-sama mengambil langkah penting untuk mempercepat penghentian penggunaan bahan bakar fosil secara perlahan dan bertanggung jawab, sehingga dapat memiliki sistem energi yang bebas dari bahan bakar fosil pada pertengahan abad ini dan secara paralel membuka akses untuk semua sekaligus mempromosikan pembangunan berkelanjutan.
Betapa pentingnya melipatgandakan kapasitas energi terbarukan global dan menggandakan tingkat peningkatan efisiensi energi di seluruh sektor pada tahun 2030.
Kendati diskusi pada G20 Energy Ministrial mempertimbangkan transisi energi dan menyelaraskan arah tujuan dengan Paris Goals, hasilnya belum cukup jelas untuk mengubah sistem energi global, meningkatkan sumber energi bersih dan terbarukan, dan secara bertanggung jawab mengurangi bahan bakar fosil.
“Kami berharap seluruh kemajuan yang dicapai oleh G20 mendorong hasil yang kuat pada COP28 di bawah Global Stocktake serta mampu memanfaatkan Program Just Transition Work yang ditetapkan COP27 memastikan transisi ini adil, tidak membiarkan siapapun tertinggal dan mendukung tantangan pembangunan yang dihadapi oleh negara-negara berkembang dalam melakukan transisi ini,” tulis pernyataan itu.[yus]