NATIONAL

Dirjen Rehsos: Penanganan ODGJ Perlu Data Base Sebagai Acuan

Selasa, 27 Maret 2018

Indonesiaplus.id – Gerakan Stop Pemasungan yang dilakukan Kementerian Sosial, sudah banyak mencapai prestasi. Sejak 2016 berhasil membebaskan 8.800 dari 400 ribu Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ.

“Tahap kedua berhasil membebaskan 3.400 ODGJ, ” ujar Dirjen Rehabilitasi Sosial Kemensos Edi Suharto pada acara Evaluasi Gerakan Stop Pemasungan bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan, di Hotel Santika Premiere Bekasi, Senin (26/3/2018) malam.

Penanganan, kata Edi, bagi Penyandang Disabilitas Mental (PDM) di negara maju, sangatlah berbeda dengan negara berkembang seperti Indonesia dengan jumlah penduduk 250 juta.

“Di negara maju dengan penduduk sedikit tapi anggaran besar, PDM bisa diatasi cepat. Sedangkan di Indonesia memiliki hambatan yang kompleks baik penganganan medis maupun rehabilitasi sosial, ” katanya.

Prinsip utama dari rehabilitasi sosial terhadap PDM adalah mengambalikan ODGJ pada kehidupan yang wajar, baik di lingkungan masyarakat maupun keluarga.

“Usai direhabilitasi sosial ODGJ di lembaga maupun panti, dikembalikan ke masyarakat dan keluarga. Tentu saja, selama di panti mereka dibekali beragam keterampilan, ” ucapnya.

Penanganan PDM harus melibatkan lintas sektor, dinas sosial, dinas kesehatan dan para pelaksana di lapangan. Sehingga, dalam gerakan stop pemasungan itu jangan ada yang tercecer.

“Policy maker pun harus dilibatkan dan aparat di lapangan, jangan mengedepankan solusi instan dengan mengangkut ODGJ ke luar wilayah atau ke kabupaten terdekatnya, ” tandasnya.

Dari pertemuan ini diharapkan ada point-point strategis, di antaranya data base dan peta ODGJ serta apa yang dilakukan usai mereka dilepaskan dari pasung.

“Penting sekali memiliki data base agar bisa dilakukan pemetaan dan menjadi acuan, dimana, berapa banyak, serta seberapa tingkat keparahan PDM, ” tandasnya.

Untuk memiliki data base atau pemetaan perlu dana, riset dan bisa dibantu konsultan. Selain itu, bisa menjalin kerjasama dengan badan kesehatan dunia atau WHO dan lembaga-lembaga internasional.

“Dianggarkan saja agar memiliki data base yang bisa jadi acuan, atau bisa menjalin kerjasama dengan WHO dan lembaga internasional. Saya yakin mereka bisa bantu melakukan riset cepat, menyiapkan konsultan dan advisor, ” katanya.

ODGJ tidak hanya difoto dan dikunjungi melainkan harus jelas tindakan apa selanjutnya, baik dari sisi medis maupun rehabilitasi sosialnya. Dari instrumen hukum dan regulasi sudah lengkap, seperti UU No 18 tahun 2014 dan UU No 8 tahun 2016.

“Butuh penanganan komprehensif yang melibatkan pihak terkait. Bisa jadi, diterima masyarakat dan keluarga tapi di dunia kerja tidak. Nah, kondisi itu bisa stres dan mereka kambuh lagi. Saya kira ini penting diperhatikan kita semua, ” pungkasnya.[Sap]

Related Articles

Back to top button