HUMANITIES

Reformasi Aset Pasca Sertipikat Gratis*

Rabu, 12 September 2018

Indonesiaplus.id – Reforma agraria yang substansinya mengusung upaya pengentasan kemiskinan dan pengangguran melalui reformasi aset pelan-pelan sedang dijalankan pemerintah melalui (diantaranya) pembagian sertipikat gratis.

Namun demikian, terdapat sejumlah kekawatiran bahwa kepemilikan akan aset formal (melalui sertipikat) tersebut belum bisa menjadi jalan bagi pemiliknya untuk mengaktivasi sumberdaya tersebut. Di sinilah penting ditawarkan apa yang disebut sebagai reformasi akses.

Pertanyaan kemudian, apakah kedua model reformasi itu (aset dan akses) cocok dengan seluruh kaum miskin yang ada di Indonesia? Jika kita melihat fakta penyebab terjadinya kemiskinan di Indonesia lebih karena ketiadaan aset dan susahnya akses.

Aset, oleh Michel Sherraden, didefinisikan sebagai bentuk modal yang dimiliki oleh seseorang sehingga bisa memberikan kenyamanan bagi kehidupannya (Sherraden, 1999, 2001, 2005). Aset dalam konteks ini diklasifikasi menjadi aset terukur (tangible asset) dan aset tidak terukur (intangible asset).

Dalam kehidupan nyata aset ini bisa berupa kepercayaan, semangat kolektivitas, tabungan di bank, dll. Intinya, dengan adanya aset ini akan memberikan kenyamanan sosial-ekonomi-budaya kepada pemiliknya. Sebaliknya, ketiadaan aset ini bisa mengancam kehidupan sosial ekonomi seseorang di masa kini dan mendatang.
Dengan reforma agraria, potensi kepemilikan aset rumah tangga miskin menjadi sangat besar.

Ditambah dengan reformasi akses, keberlanjutan atas kepemilikan sumber-sumber tersebut akan semakin terjamin. Sehingga dengan aset dan akses yang dimilikinya itu, keamanan sosial-ekonomi pelaku-pelakunya bisa terjadi di masa kini dan mendatang.

Tentu saja tidak ada modus tunggal dalam melakukan reformasi aset itu. Apalagi bagi orang miskin yang tinggal di wilayah-wilayah urban yang tidak memiliki latar belakang agraris. Pendekatan reformasi aset yang akan dilakukan tentu menuntut lebih beragam, di mana salah satunya adalah dengan model asset building (Sherraden, 2005). Asset building merupakan perspektif pengentasan kemiskinan, karena dipijakkan kepada strategi “assets accumulation”. Dalam praktiknya, hal ini diwujudkan dalam modus kegiatan tabungan (saving) yang terprogram.

Di sini bisa dilihat kemajuan konsep ini, dibanding dengan model lain yang berbasis kepada income generating dan income maintenance, yang mana keduanya lebih diorientasikan pada dimensi proses ekonomi. Sedangkan asset accumulation mengarah pada orientasi hasil dari kedua proses yang pertama.

Mengapa? Karena tingkat keberhasilan proses ekonomi pada subyek pelaku tidak cukup semata-mata diukur dari dimensi prosesnya seperti motivasi kerja, kekompakan, kelancaran proses perputaran produksi dan pemasaran. Lebih dari itu, keberhasilan kegiatan ekonomi mikro pada kelompok harus juga dilihat pada tingkat akumulasi aset oleh individu pelaku (subyek).

Di sini, pendekatan pengembangan aset ini tampaknya maju selangkah dari pendekatan pengentasan kemiskinan lainnya—khususnya kedua pendekatan di atas. Sebab, pendekatan ini seolah-olah tidak hanya memperhatikan pentingnya orang-orang miskin untuk bisa memiliki kail dan bisa mengail dengan baik dengan umpan yang tepat, tetapi bagaimana agar mereka memiliki kolam ikan sendiri.

Sebab, tanpa memiliki kolam sendiri, mereka hanya akan pandai memancing di kolam milik orang lain. Selama mereka tidak memiliki kolam sendiri, mereka tetap beresiko jatuh pada kemiskinan kembali. Misalnya, jika mereka tidak lagi bisa memancing, tidak mendapat umpan yang baik, dan jika mancingnya tidak menghasilkan ikan yang cukup bagi kesejahteraan keluarganya.

Untuk konteks Indonesia, pengembangan aset ini bisa dilakukan dengan beberapa modus: pengembangan usaha ekonomi produktif, peningkatan kapasitas pendidikan subyek atau pelaku, pengembangan sistem jaminan kesehatan, perbaikan rumah tinggal, dan sebagainya—merujuk kepada kebutuhan aktual seseorang.

Aspek-aspek itu muncul didasarkan kepada kriteria orang miskin yang ditunjukkan Badan Pusat Statistik (BPS). Dalam pentunjuk BPS, secara garis besar, kemiskinan itu karena fasilitas kesehatan rumah tangga yang buruk, tempat tinggal yang tidak atau kurang layak, pendidikan atau skill yang kurang bersaing, dan usaha yang susah berkembang.

Berkaca dari kriteria ini, maka pendekatan asset building menjadi instrumen yang sangat tepat. Operasionalisasinya, salah satunya dengan membuat ”Individual Development Account” bagi kaum miskin.

Di Indonesia, hal ini bisa dimodifikasi dalam bentuk lain, namun dengan substansi yang sama, yakni kaum miskin diajak untuk memberdayakan dirinya dengan cara mengintegrasikannya kepada sistem keuangan modern dan produktif. Secara riil, kaum miskin ini akan memiliki rekening yang menegaskan di dalamnya hak-hak atas sekumpulan aset yang akan dimilikinya.

Negara atau dalam hal ini pemerintah, bisa melihat perkembangan aset yang dimiliki oleh orang miskin tadi pada rekening itu. Di sini, negara kemudian memberikan insentif kepada mereka yang mau melakukan program kegiatan yang dirancang untuk pengembangan aset ini. Insentifnya bisa bermacam-macam, misalnya bantuan untuk pengembangan usaha, renovasi rumah, beasiswa bagi anak-anaknya, dan sebagainya.

Intinya, ada proyeksi-proyeksi masa depan yang ditanamkan kepada kaum miskin itu melalui program pengembangan aset. Sehingga, jika proses integrasi kepada sistem finansial modern ini sudah terjadi, mereka kemudian bisa merancang kehidupannya sendiri sesuai dengan kapasitas dan kesempatannya. *Tantan Hermansah, Sosiologi Perkotaan, Sekjen Perkumpulan Pengembangan Masyarakat Islam (P2MI).[Mor]

 

Related Articles

Back to top button