Persoalan Gepeng, Mensos: Ada Indikasi Kejahatan Terorganisir

Indonesiaplus.id – Akar persoalan mendasar dari gelandangan dan pengemis (gepeng) adalah faktor kemiskinan, juga kondisi ketidaksiapan dan ketidakmampuan yang membuat mereka tidak ada pilihan lain.
“Hingga 2019 populasi gepang 58.4923, namun angka ini perlu diuji validitasnya mengingat pendataan terhadap kelompok ini relatif sulit lantaran mobilitas mereka sangat tinggi,” ujar Menteri Sosial Agus Gumiwang Kartasasmita pada Workshop Nasional Penanganan Gelandangan dan Pengemis dalam Implementasi Permensos RI No. 9 Tahun 2018, di Jakarta, Kamis (22/08/2019).
Menangani gepeng, kata Mensos, agar pemda provinsi maupun daerah kabupaten/kota menjadikan Permensos No. 9 Tahun 2018 tentang Standar Teknis Pelayanan Dasar pada Standar Pelayanan Minimal Bidang Sosial sebagai payung hukum.
“Dengan Permensos itu gepeng bisa terlayani kebutuhan dasarnya, sekaligus diberdayakan sesuai potensinya dan bisa hidup layak sesuai norma yang ada di masyarakat,” ungkapnya.
Pada saat yang sama, dibalik operasional para gepeng tersebut ada indikasi kejahatan yang terorganisir. Untuk itu, semua pihak harus mengatasi secara sinergi termasuk di dalamnya peran pemerintah daerah.
“Penanganan gepeng itu tanggung jawab utama berada di tangan pemda. Sehingga, Pemda bisa berperan memberikan rehabilitasi dasar buat mereka,” tandasnya.
Berdasarkan laporan, komunitas gepeng dimobilisasi di kawasan tertentu dengan kendaraan. Tak jarang gepeng menggunakan modus anak untuk menarik simpati masyarakat, dengan menyewa anak dan menyewa orang.
“Persoalan gepeng seperti fenomena puncak gunung es, dimana angka riilnya sangat dimungkinkan jauh lebih tinggi dari data yang ada, ” katanya.
Eksisnya fenomena gepeng, erat kaitannya dengan program rehabilitasi sosial belum menyentuh akar permasalahan yaitu kemiskinan.
“Jika saja berbagai daerah miskin yang menjadi kantong pemasok tidak ditangani dengan baik, maka persoalan gepeng akan terus ada dan berlanjut,” ungkapnya.
Selama ini, Kemensos serius menangani gepeng melalui program penanganan gepeng “Desaku Menanti” yaitu salah satu model penanganan gepeng dengan memberikan sentuhan komprehensif.
“Program ini tidak sekedar menyentuh aspek rehabilitasi sosial, melainkan juga memperhatikan aspek preventif, jaminan dan perlindungan sosial serta aspek pemberdayaan sosial,” kata Mensos.
Fokus dari kegiatan Desaku Menanti pada penanganan keluarga gelandangan dan pengemis termasuk di dalamnya anak dan orang tuanya.
Selain itu, memberikan penanganan lanjutan, berupa berbagai bantuan seperti pemberian keterampilan, pelatihan, dan bahkan bantuan modal usaha, agar mereka memiliki kemampuan untuk mandiri secara ekonomi.
Dirjen Rehabilitasi Sosial Edi Suharto mengatakan, berbagai program pemerintah pusat dan daerah untuk penanganan gepeng sudah dilakukan baik bersifat, preventif, represif, dan kuratif melalui rehabilitasi sosial, namun hal ini belum mampu mengatasi secara optimal.
“UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, diatur pembagian kewenangan dan tanggung jawab dalam penanganan pelaksanaan Rehabilitasi Sosial, termasuk penanganan gepeng menjadi tugas dan tanggung jawab Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota,” tandasnya.
Mempertegas dan mengatur lebih rinci, Menteri Sosial menerbitkan Peraturan Menteri Sosial No. 9 Tahun 2018 Tentang Standar Teknis Pelayanan Dasar pada Standar Pelayanan Minimal Bidang Sosial.
“Disebutkan salah satunya penanganan Rehabilitasi Sosial Gelandangan dan Pengemis menjadi Tugas dan tanggungjawab Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota,” pungkas Edi.[mor]