Turki Jadi Beli S-400 Rusia, AS Batalkan Tawaran Rudal Patriot

Indonesiaplus.id – Amerika Serikat (AS) membatalkan tawaran penjualan sistem pertahanan rudal Patriot senilai USD3,5 miliar kepada Turki. Pembalawan tawaran tidak berlaku sejak Ankara menerima pasokan sistem pertahanan rudal S-400 Rusia pada Juli lalu.
Pembatalan tawaran dari Washington sebelumnya tidak pernah disampaikan. Langkah mematikan tawaran itu sekaligus menepis klaim Ankara bahwa pengoperasian senjata pertahanan canggih Rusia tetap selaras dengan sistem senjata NATO.
Selama ini, Turki berupaya memperoleh sistem pertahanan Patriot yang disediakan oleh sekutu NATO-nya untuk menangkal ancaman terhadap wilayah udaranya yang datan dari Suriah.
“Secara konsisten kami mengatakan kepada Turki tawaran Patriot terbaru akan ditarik jika (Ankara) membutuhkan pengiriman sistem S-400 dan penawaran Patriot kami telah kedaluwarsa,” ujar seorang pejabat Departemen Luar Negeri AS kepada Al-Monitor, yang dilansir Jumat (23/8/2019).
Patrick Shanahan—saat itu Pelaksana Tugas (Plt) Menteri Pertahanan—Pentagon telah mengindikasikan bahwa akan menarik tawaran untuk menjual sistem pertahanan rudal Amerika yang didiskon dari meja jika Turki menerima pengiriman S-400, sebuah langkah yang secara luas dianggap sebagai guncangan besar di hampir 70 tahun hubungan Ankara dengan NATO.
Dalam konferensi pers, lima hari setelah Turki menguasai sistem senjata Rusia, Wakil Asisten Menteri Pertahanan untuk Kebijakan David Trachtenberg membuka kemungkinan Ankara masih menutup opsi untuk pembelian Patriot. Trachtenberg mengundurkan diri dari jabatannya beberapa hari kemudian.
“Kami telah menawarkan Patriot ke Turki berkali-kali,” kata Trachtenberg. “Jika Turki tertarik pada Patriot, mereka akan memberi tahu kami,” katanya.
Pihak Departemen Luar Negeri AS menyetujui penjualan sistem rudal Patriot pada bulan Desember, usai Turki dua kali menyetujui untuk membeli sistem rudal asing; pertama menyetujui kesepakatan untuk membeli sistem rudal China, yang kemudian ditinggalkan dan embeli S-400 seharga USD2,5 miliar pada tahun 2017.
Para pejabat AS khawatir radar dari sistem S-400 dapat secara pasif memata-matai jet tempur siluman F-35. Kekhawatiran itulah yang pemerintah Donald Trump untuk mencoret Ankara dari keanggotaan konsorsium bersama untuk program F-35.
Melalui program tersebut, sejatinya Turki membuat sebagian dari perangkat pesawat dan roda pendaratan serta telah merencanakan untuk menjadi tuan rumah sebuah depo untuk merombak mesin pesawat tempur.
Terlepas dari undang-undang AS tahun 2017 yang mengharuskan sanksi terhadap pembeli peralatan militer Rusia, Presiden Trump ragu-ragu menerapkan hukuman terhadap Turki, meskipun ada permintaan dari Partai Republik di Kongres untuk melakukannya.
Dalam Countering America’s Adversaries Through Sanctions Act (CAATSA) atau Undang-Undang Melawan Musuh Amerika Melalui Sanksi ditandatangani oleh Trump pada Agustus 2017 dan direvisi setahun kemudian.
CAATSA memungkinkan keringanan bagi sekutu Amerika di Asia yang melakukan divestasi secara luas dari sistem persenjataan Rusia.
Sedangan menurut para ahli mengatakan kepada Al-Monitor awal tahun ini bahwa kelonggaran seperti itu kemungkinan tidak akan diperluas untuk sekutu NATO seperti Turki.
“Saya pikir telah ada proses yang busuk dengan CAATSA, tetapi kisah itu belum berakhir, dan akan diambil kembali,” kata Aaron Stein, direktur program Timur Tengah di Foreign Research Research Institute yang berbasis di Philadelphia. “Enam bulan ke depan, yang kita miliki adalah Turki mengoperasikan S-400 dan tidak ada kemauan Kongres untuk mengekang Turki atau Trump. Patriot adalah benda kedua yang jatuh, setelah pelepasan F-35.”
Pentagon memerintahkan pilot dan teknisi Turki yang berlatih mengoperasikan F-35 untuk meninggalkan Amerika Serikat pada 31 Juli, masih belum jelas keputusan Washington setelah Ankara secara tidak langsung berhak menerima empat jet tempur F-35.
Turki akan menerima pengiriman kedua S-400 dari Rusia pada tahun 2020. Meski bersitegang, Amerika Serikat dan Turki membuat kemajuan untuk mengharmoniskan hubungan dengan rencana membuat kesepakatan untuk menciptakan zona aman di Suriah.
Menteri Pertahanan AS Mark Esper dan mitranya dari Turki, Hulusi Akar, pada hari Kamis dilaporkan telah berbicara melalui telepon dalam upaya untuk memajukan pembentuka zona aman itu.[fat]