GLOBAL

Aksi Unjuk Rasa Masih Terjadi, Carrie Lam Percaya Bisa Atasi Krisis

Indonesiaplus.id – Selama unjuk rasa antipemerintah Hong Kong tindak keerasan menjadi semakin serius. Kendati demikian, Pemimpin Hong Kong Carrie Lam menegaskan pemerintah yakin bisa mengatasinya.

Lam mengatakan hal itu saat dia untuk pertama kali tampil ke publik sejak unjuk rasa yang berujung bentrok pada Ahad (25/8/2019).

Saat itu, pihak kepolisian Hong Kong menembakkan meriam air dan gas air mata untuk meredam aksi unjuk rasa. Aksi unjuk rasa menjadi krisis politik terbesar di Hong Kong sejak penyerahan kota tersebut ke China pada 1997 oleh Inggris.

Pihak otoritas China telah mengirim peringatan tegas bahwa intervensi bisa dilakukan untuk mengendalikan kekerasan. Namun, Lam menyatakan tidak akan menyerah dalam membangun dialog.

“Pemerintah bersiap rekonsiliasi dalam masyarakat melalui komunikasi dengan orang berbeda. Kita ingin mengakhiri situasi kacau di Hong Kong,” ujar Lam yang tidak yakin dengan pendapat pemerintahannya kehilangan kontrol.

Aksi unjuk rasa banyak direncanakan dalam beberapa hari mendatang. Kondisi itu menjadi tantangan bagi otoritas di Beijing yang akan memperingati ulang tahun ke-70 berdirinya Republik Rakyat China pada 1 Oktober.

Pihak Beijing memperingatkan China menentang intervensi pemerintah asing dalam unjuk rasa di Hong Kong. Pernyataan muncul usai para pemimpin Grup Tujuh (G7) menyerukan agar kekerasan dapat dihindari di Hong Kong.

“Pihak Beijing sangat kecewa dan menentang G7 membuat pernyataan dan gerakan tangan tanpa berpikir tentang Hong Kong,” ujar juru bicara Kemlu China Geng Shuang seperti dilansir Reuters.

Pada kunjungan di Provinsi Guangdong dekat dengan Hong Kong, Menteri Keamanan Publik Chian Zhao Kezhi menyatakan, China akan melumpuhkan aktivitas teroris kekerasan dan dengan tegas menjaga keamanan politik.

Aksi kerusuhan di pusat keuangan Asia itu terjadi sejak pertengahan Juni untuk menolak rancangan undang-undang (RUU) ekstradisi yang dapat mengirim tersangka ke pengadilan di China.

Aksi unjuk rasa berlangsung 12 pekan tersebut, kini berubah menjadi tuntutan demokrasi lebih luas berdasarkan kebijakan satu negara dua sistem yang ditetapkan usai penyerahan Hong Kong ke China pada 1997.

Sejauh ini, otoritas menolak lima tuntutan utama demonstran, yakni pencabutan RUU ekstradisi, pembentukan penyelidikan independen terkait unjuk rasa dan kebrutalan polisi, berhenti menyebut unjuk rasa itu sebagai perusuh, mencabut dakwaan pada demonstran yang ditahan, serta melaksanakan reformasi politik.

Pasca gerakan unjuk rasa terjadi, kepolisian Hong Kong menahan 883 orang, termasuk anak-anak yang paling muda berusia 12 tahun.

Bahkan, ada 136 demonstran menghadapi dakwaan. Ditambah 205 personel kepolisian terluka selama unjuk rasa terjadi. Pemerintah Hong Kong menyatakan kekerasan itu mendorong kota ke jurang bahaya besar.

Aksi unjuk rasa saat Hong Kong mengalami resesi pertama dalam satu dekade. Semua indikasi pertumbuhan ekonomi mendapat tekanan besar.

Bahkan, sejumlah lembaga rating mengungkapkan berbagai pertanyaan jangka panjang tentang kualitas pemerintahan di Hong Kong.[fat]

Related Articles

Back to top button