Peneliti: Saingan Antarcalon Serangan Fajar Jadi Rp 100 Ribu

Selasa, 9 April 2019
Indonesiaplus.id – Bahaya politik uang atau serangan fajar dalam pemilu 2019, khususnya pilpres menjadikan rakyat kecil tidak sejahtera, tetapi sebaliknya merongrong pembangunan ekonomi nasional.
“Meski masyarakat kelas bawah masih tergiur serangan fajar, saya pikir itu tidak memengaruhi ekonomi mereka, karena hanya terjadi sekali waktu,” ujar Peneliti lembaga studi Asia Tenggara dan Karibia Kerajaan Belanda (KITLV), Ward Berenschot usai Seminar Politik Uang Dalam Pemilu 2019 di Jakarta, Senin (8/4/2019).
Tradisi memberi uang, kata Berenschot, menjelang pemungutan suara atau sering disebut ‘serangan fajar’ untuk meraup suara, sama sekali tidak meningkatkan perekonomian masyarakat, khususnya masyarakat berpenghasilan rendah yang sering menjadi sasaran praktik tersebut.
“Jika dibandingkan dengan pemilu sebelumnya, jumlah uang yang diberikan saat ‘serangan fajar’ pada pemilu tahun ini lebih besar. Kalau dahulu mereka memberi uang kepada masing-masing calon pemilih sekitar Rp20.000-Rp50.000 sekarang menjadi sekitar Rp100.000. Selalu ada peningkatan karena ada persaingan antara kandidat,” katanya.
Politik uang semacam ‘serangan fajar’ atau praktik politik uang lainnya sebaliknya justru memberikan dampak negatif bagi pembangunan ekonomi.
Politik uang sangat berkaitan dengan korupsi, sebab kandidat yang berhasil menduduki jabatan, melalui praktik politik uang, cenderung akan menyalahgunakan anggaran negara yang ditujukan untuk pembangunan. Baik itu berupa pembangunan infrastruktur ataupun pelayanan publik. Langkah nekat ini dilakukan agar balik modal.
“Dampaknya perbaikan infrastruktur dan pelayanan publik akan terganggu karena banyak pejabat yang menyalahgunakan anggaran negara untuk kepentingan individu atau golongan mereka sendiri,” pungkasnya.[mus]