Rusia Tambah Sistem Pertahanan Serangan Udara di Crimea

Kamis, 29 November 2018
Indonesiaplus.id – Pihak militer Rusia segera menambah instalasi sistem pertahanan serangan udara S-400 di Crimea, Rabu (28/11/2018).
Di tengah ketegangan dengan Ukraina, Rusia menyiagakan tiga sistem yang terpasang dan satu lagi akan ditambahkan.
Pernyataan Rusia tersebut muncul ketika pada hari yang sama Presiden Ukraina Petro Poroshenko resmi menandatangani pemberlakuan undang-undang darurat militer di kawasan perbatasan.
Kondisi dan status siaga perang berlaku hingga 30 hari dan diterapkan untuk 10 kawasan perbatasan dengan Rusia, Laut Hitam, dan Laut Azov.
Parlemen menyetujui permintaan Poroshenko, tapi tidak semuanya, setelah Rusia menembaki dan lantas menawan dua kapal perang dan satu kapal tunda Ukraina beserta 24 awaknya dalam insiden di Selat Kerch, jalur menuju Laut Azov, di lepas Pantai Crimea, Minggu (25/11/2018).
Pemerintah Rusia beralasan rombongan kapal Ukraina melanggar hukum perbatasan, lalu melakukan pengejaran dengan 10 kapal perang hingga memasuki perairan internasional.
Sedangkan pemerintah Kiev mengatakan enam pelaut terkena tembakan, sementara Moskow bilang hanya tiga yang terluka dan sudah dirawat.
Informasi terbaru pengadilan di Crimea menuntut 12 dari 24 pelaut Ukraina untuk dijebloskan ke penjara selama dua bulan. Sisanya akan diproses dalam pengadilan berikutnya.
Menurut Poroshenko, Selasa (27/11/2018), unit militer Rusia di perbatasan “meningkat secara dramatis”, termasuk jumlah tank yang bertambah tiga kali lipat ke¬timbang situasi normal.
“Saya harap orang tidak beranggapan bahwa ini sekadar permainan. Ukraina benar-benar berada dalam ancaman perang skala besar dengan Rusia,” ujarnya.
Undang-undang darurat militer menyatakan, Poroshenko memiliki wewenang memobilisasi warga negara yang memiliki pengalaman kemiliteran, mengontrol media, dan membatasi pertemuan publik.
Cukup berasalan kekhawatiran Kiev, sebab di masa lalu perang di Crimea antara rezim Ukraina dan kelompok pemberontak dukungan Rusia telah menewaskan lebih 10 ribu warga. Krisis terkini seolah menggarami luka yang belum sembuh.
Dengan Insiden tersebut menuai kecaman dunia. Uni Eropa, Kanada, Inggris, Prancis, dan Jerman menuding Rusia melanggar hukum internasional dan melakukan provokasi baru terhadap Ukraina, terutama setelah pencaplokan Crimea pada 2014.
Bahkan, Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengambil sikap serupa dan mengancam membatalkan rencana pertemuan dengan Presiden Rusia Vladimir Putin di KTT G20 di Buenos Aires, Argentina, pekan ini.
Sebelumnya, Trump siap mendengarkan kesimpulan dari para penasihat keamanan nasional atas krisis Ukraina. “Itu sangat menentukan keputusan saya,” katanya pada Washington Post. “Mungkin saya tidak perlu mengadakan pertemuan dengan Mr Putin.”
Rusia masih menginginkan terwujudnya pertemuan Putin-Trump. Moskow berargumen krisis Selat Kerch terjadi karena Kiev sengaja melakukan provokasi, sehingga kesalahan tidak berada di pihaknya.
Menurut Juru Bicara Kremlin Dmitry Peskov, Rabu, “Persiapan dilanjutkan. Rencana pertemuan itu sudah disepakati, dan kami tidak mendengar infor¬masi berbeda dari AS.”
Putin sendiri memberikan pernyataan tegas bahwa tindakan armada laut Rusia menawan tiga kapal Ukraina adalah tugas negara.
“Mereka menjalankan tugasnya sebagai militer. Mereka memenuhi kewajiban menjaga kawasan perbatasan Rusia sesuai hukum yang berlaku,” katanya dalam sebuah forum investasi di Moskow, Rabu.
Putin menekankan bahwa perairan itu sudah masuk teritorial Rusia, bahkan sebelum aneksasi Crimea. “Tiga kapal militer memasuki teritorial Rusia dan tidak menjawab perintah pasukan perbatasan untuk balik arah. Menurut Anda, apa yang harus kami lakukan? Ini sangat jelas. Semua negara akan melakukan hal yang sama.”
Sehari sebelumnya, Putin juga mengatakan bahwa tiga kapal Ukraina sengaja memasuki perairan Rusia untuk menciptakan situasi konflik atau membuat provokasi yang mendiskreditkan pihaknya.[fat]