GLOBAL

Rusia Gempur Idlib, Erdogan Khawatir Terjadi Pembantaian

Kamis, 6 September 2018

Indonesiaplus.id – Aksi pengeboman di Idlib, basis terakhir pemberontak di Suriah, bisa mengakibatkan “pembantaian”.

“Pembantaian besar-besaran bisa terjadi jika tempat itu dihujani rudal,” ujar Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan pada wartawan saat berada di pesawat yang menuju negara Asia Tengah Kyrgyzstan dalam kunjungan kenegaraan, seperti dilaporkan koran Hurriyet, Rabu (5/9/2018).

Pasukan Suriah sudah mengepung kawasan barat laut Idlib dan siap melancarkan serangan besar-besaran, sehingga memunculkan kekhawatiran terjadinya katastrofi kemanusiaan dengan skala yang belum pernah terlihat dalam tujuh tahun konflik di Suriah.

Pemerintah Damaskus didukung Moskow berniat menghancurkan kelompok-kelompok jihad yang menguasai Provinsi Idlib hingga ke akar-akarnya.

Pasukan Rusia, sekutu dekat Presiden Suriah Bashar al-Assad, bahkan sudah melancarkan serangan udara ke Idlib setelah 22 hari gencatan senjata.

Turki sendiri, yang mendukung sebagian kelompok pemberontak, beberapa kali menggelar pertemuan dengan Rusia, juga Amerika Serikat, untuk mencegah serangan ke Idlib.

“Kooperasi dengan Rusia menjadi sangat penting sekarang. AS mengirim bola ke Rusia, dan Rusia menendangnya ke arah AS,” katanya.

Erdogan kemudian membicarakan “proses tanpa ampun” yang sedang terjadi di Idlib, seraya memperingatkan potensi gelombang pengungsian jika pertempuran besar terjadi.

“Di sana ada sekitar 3,5 juta orang tinggal di sana. Lagi-lagi, mereka akan menuju Turki untuk menyelamatkan diri,” ungkapnya.

Wilayah Idlib masuk salah satu zona dengan sebutan “de-eskalasi” setelah pembicaraan dengan Rusia, Turki, dan Iran pada tahun lalu, yang diiringi meningkatnya kontrol Damaskus di kawasan lain di negara tersebut.

Erdogan, juga pemimpin negara Iran dan Rusia, dijadwalkan bertemu di Teheran pada Jumat (7/9) untuk kembali membicarakan provinsi tersebut. Hasil dari pertemuan itu bisa saja menentukan cakupan dan waktu pelaksanaan agresi militer.

“Semoga pertemuan di Teheran berbuah positif sehingga kami bisa mencegah terjadinya tindakan ekstrem dari rezim Suriah,” terangnya.

PBB berkumpul pada Jumat nanti untuk mendiskusikan situasi di Idlib, seiring kekhawatiran terjadinya agresi militer dan kemungkinan penggunaan senjata kimia. Washington sudah memperingatkan, Selasa (4/9) kemarin, bahwa militer AS akan bertindak jika Suriah menggunakan senjata kimia untuk menyelesaikan persoalan di Idlib.

Semenjak meletusnya perang saudara di Suriah pada 2011, rezim pemerintah diduga beberapa kali menggunakan senjata kimia untuk melumpuhkan kelompok pemberontak, yang sekaligus membunuh ribuan warga sipil.

Indikasi serangan menggunakan gas sarin, gas klorin, dan gas mustard kerap ditemukan PBB, terutama sejak tragedi Agustus 2013 di Ghouta Timur dan Moadamiyet al-Sham, ketika basis pemberontak diserang dengan gas beracun yang menewaskan sekitar 1.400 orang, termasuk lebih dari 400 anak-anak.

Pemerintah Suriah selalu menyangkal telah menggunakan senjata kimia. Namun, AS sejak era Presiden Donald Trump, bersama Inggris dan Prancis, beberapa kali meluncurkan rudal ke fasilitas-fasilitas milik pemerintah Suriah yang diyakini digunakan untuk memproduksi atau menyimpan senjata kimia.

Militer Rusia mengklaim telah melakukan serangan udara ke Idlib, dengan pesawat tempurnya menargetkan kelompok militan Front Al-Nusra, Selasa (4/9) kemarin.

“Empat pesawat Rusia dari Pangkalan Udara Khmeimim melancarkan serangan terarah pada objek-objek yang dikuasai kelompok militan Front Al-Nusra di Provinsi Idlib,” demikian keterangan Juru Bicara Militer Rusia Igor Konashenkov seperti dilansir AFP.

Ia mengatakan, serangan udara dilancarkan Selasa “selama langit masih gelap”, tanpa membeberkan apakah itu berarti menjelang pagi atau malam hari.

“Serangan udara itu ditujukan pada gudang-gudang teroris di luar daerah pemukiman, tempat penyimpanan pesawat tanpa awak (drone) dan sistem pertahanan udara,” tambah Konashenkov.

Zona-zona tempat peluncuran drone yang bisa digunakan untuk menyerang pangkalan udara Rusia di Khmeimim dan kota-kota di Provinsi Aleppo dan Hama juga digempur.

Badan Pemantauan Hak Asasi Manusia Suriah (SOHR) yang bermarkas di Inggris melaporkan sedikitnya sembilan warga sipil, termasuk lima anak-anak dari keluarga yang sama, tewas dalam serangan Rusia, sementara lebih dari 10 orang mengalami luka-luka.

Wilayah Idlib dan daerah-daerah di sekitarnya direbut oleh kelompok jihad dan pemberontak dari penguasaan Suriah sejak 2015.

Turki memiliki kontrol lemah pada sejumlah kelompok jihad, yang diperkirakan mencapai 60 persen dari penghuni Idlib, tetapi mereka memberikan dukungan pada kelompok-kelompok pemberontak dan mendirikan 12 “titik pengawasan” militer di seluruh pelosok provinsi.[Fat]

Related Articles

Back to top button