Permendikbudristek No 30 Tahun 2021, Muhammadiyah: Bentuk Ekstremisme Demokrasi

Indonesiaplus.id – Kritik keras atas terbitnya Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 terkait pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di kampus.
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir mengkritik Permendikbudristek itu sebagai bentuk ekstremisme dari pemahaman terhadap demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM).
“Saya kira isu yang terakhir di Indonesia soal Permendikbud juga bagian dari ekstremitas demokrasi dan hak asasi manusia yang jika tidak kita kelola dengan baik itu akan berkembang. Di mana kekuatan-kekuatan sipil tidak kalah otoriternya dengan kekuatan-kekuatan militer ketika dia dibangun di atas oligarki,” tandas Haedar dalam sebuah diskusi daring yang digelar Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Senin (15/11/2021).
Haedar memaknai oligarki keagamaan sebagai kelompok agama yang merasa paling berkuasa di suatu negara. “Oligarki ekonomi, oligarki politik bahkan saya menambahkan satu istilah oligarki keagamaan,” tandasnya.
Pemahaman ekstrem terhadap demokrasi dan HAM justru bakal bermuara pada kematian demokrasi itu sendiri. Ancaman terhadap demokrasi kini bukan datang dari rezim militer, melainkan rezim sipil juga bisa menggiring demokrasi ke sakratul maut.
“Ada asumsi kematian demokrasi muncul tidak hanya dari rezim militer, seperti pada era beberapa dekade sebelum ini. Justru kematian demokrasi berada di tangan pemimpin negara yang non-militer tetapi membajak demokrasi,” tegasnya.
Kondisi itu ditandai dengan demokrasi semu. Di mana negara seakan-akan demokrasi tapi hanya sebatas cangkang tak sampai ke kerangka dan fondasi.
Berbagai aturan soal pencegahan kekerasan seksual di kampus banyak menuai polemik. Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Ristek dan Teknologi dianggap tak mengakomodasi suara kalangan tertentu dalam proses penyusunan beleid tersebut.
Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Aisyiyah, Atiyatul Ulya mengatakan, masukan pihaknya dalam penyusunan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tidak digubris jajaran Kemendikbudristek.
“Berbagai masukan yang tadi sudah saya sampaikan pun sudah saya sampaikan ketika pertemuan dengan Kementerian Pendidikan dengan berbagai unsur lembaga yang lain. Hal tadi misalkan terkait dengan definisi, ruang lingkupnya, implementasi,” ungkap Atiyatul, Selasa (9/11/2021).
Ia melihat pelibatan pihaknya dalam menyusun beleid tersebut tak lebih hanya sebuah formalitas. Pasalnya mereka diundang kala aturan itu sudah rampung dibuat dan tinggal disahkan.
Aturan yang kini telah disahkan dengan yang ditunjukkan kepadanya saat sebelum diketok persis sama, tak ada yang diubah. Hal itu mengindikasikan Kemendikbudristek sama sekali tak mendengar masukan dari pihaknya.
“Kami waktu itu diajak untuk membahas ya. Tetapi ketika diajak untuk membahas ini sudah di akhir-akhir dan itu sudah masuk di Kementerian Hukum dan HAM, sudah tinggal diketok. Artinya bahwa formalitas, kami juga sudah sampaikan fungsi mengundang kami itu apa kalau tinggal diketok di kementerian?” kata dia.
Berdasarkan catatan Atiyatul ada sejumlah masalah dalam peraturan yang bermaksud mulia itu, seperti terkait cakupan kekerasan seksual yang memang banyak menuai polemik.
“Definisi masih sangat umum dari bacaan kami, sehingga nanti khawatirnya ketika di lapangan itu akan susah untuk diterjemahkan,” tandasnya.
Perihal penggunaan diksi bentuk-bentuk kekerasan seksual yang selalu menggunakan frasa “tanpa persetujuan” dari korban.
“Hal itu bisa dipahami bahwa kalau logikanya yang dibaliknya itu, berarti kalau mereka sama-sama setuju jadi nggak apa-apa dong meskipun itu sebetulnya secara hukum agama tidak diperbolehkan,” ungkapnya.
Pada akhirnya menggiring penafsiran sejumlah pihak hubungan seksual suka sama suka atau sesama jenis dibolehkan, karena tidak diakomodasi dalam Permendibudrsitek 30/2021 padahal jelas bertentangan dengan ajaran agama.[yus]